Kamu tidak harus menjadi "penurut" ekpektasi orang lain
Istilah berhentilah mengejar pengakuan atau berhenti memenuhi ekspektasi orang lain cukup sering melintas di timeline media sosial. Topik ini mungkin terasa membosankan karena diulang-ulang terus menerus. Tetapi fenomena ini sebenarnya cukup umum dijumpai, dikarenakan hal ini sedang kita rasakan sekarang. Ketika dalam kehidupan sosial individu dituntut untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan secara tidak tertulis dimasyarakat. Misal, umur 30 tahun namun belum menikah, secara umum komentar yang keluar dari masyarakat tidak enak didengar oleh telinga dan membuat hati ini muak. Apalagi bila situasi ini dialami oleh perempuan. Misal lainnya, situasi ketika individu dituntut untuk memiliki kendaraan, rumah, bisnis, karir yang mapan dalam usia yang begitu muda. Sah-sah saja jika memang memiliki kemampuan untuk mewujudkan itu. Tapi, ada faktor lain yang masyarakat masa bodoh dengan itu. Previlage, keluarga, tanggungan, cita-cita, dan keinginan individu yang diabaikan. Generasi sandwich pasti merasakan hal ini, mereka bekerja bukan untuk dirinya sendiri.
Aku ingin membahasnya dalam sebuah kisah mengapa berhenti untuk memenuhi ekspektasi orang lain itu benar-benar berpengaruh pada sebuah jalan hidup. Kisah yang aku ambil dari mahabharata, tentang tokoh Karna Putra Surya, sulung dari para Pandhawa. Dikisahkan Karna lahir ketika ibunya Kunthi mencoba sebuah mantra yang diberikan oleh Resi Druwasa. Hasil rasa ingin tau untuk menjajal mantra itu, memanggil Dewa Surya yang memberikan anugrah berupa kehamilan pada Kunthi. Lahirlah seorang anak yang diberkahi dengan baju zirah dan anting surya.
Dikarenakan usianya masih muda dan belum menikah, Karna dihanyutkan ke sungai hingga ditemukan dan dirawat oleh Adirata dan istrinya. Adirata sendiri adalah seorang kusir di Kerajaan Hastinapura. Karna yang dibesarkan dilingkungan kusir, merasa bukan ini jalan hidupnya. Karna memberanikan diri, mengungkapkan keinginannya untuk belajar ilmu perang. Karena dia merasa belajar ilmu perang adalah jalan hidupnya. Dengan tekat yang matang dia mengambil jalan yang berlawanan dengan nilai masyarakat pada saat itu. Karna mencoba untuk datang berguru kepada guru Dronacharya. Dronacharya adalah guru dari pangeran-pangeran Hastinapura yaitu Pandawa & Kurawa. Respon yang diberikan oleh guru Dronacharya menolak Karna, dengan alasan Karna bukan pangeran dan brahmana. Sembari pangeran-pangeran Hastinapura mencomooh keinginan Karna belajar ilmu perang kecuali Doryoudhana. Dengan cercaan itu, lantas tidak membuat Karna putus asa dan menyerah menerima statusnya sebagai anak kusir.
Karna mencari guru lain,namun supaya tidak menelan rasa kecewa kali ini dia mengaku sebagai Brahmana dan berguru kepada Resi Parashurama. Dengan sungguh-sungguh Karna menekuni ilmu perang yang diwariskan oleh sang Resi kepadanya. Sehingga nantinya Karna menjelma menjadi sosok ksatria yang kuat dan setara dengan Arjuna. Kesatria yang mampu mengimbangi bahkan mungkin mengalahkan Arjuna nantinya di Padang Kurusetra. Selain itu, dikisahkan saat diadakannya sayembara untuk merebutkan seorang putri bernama Drupadi. Karna maju untuk membuktikan keahliannya dalam memanah ikan yang bergerak didalam kolam. Dari semua pangeran dan raja-raja yang ikut serta dalam sayembara ini hanya 2 orang yang berhasil yaitu Karna dan Arjuna. Namun, keberhasilan Karna ini tidak dihargai, setelah dibongkar asal usulnya yang seorang anak kusir. Mengetahui hal itu, seluruh orang yang hadir mencemooh dan menghinanya termasuk Drupadi. Disaat semua orang menrendahkan Karna, sosok Doryoudhana berdiri membela Karna dengan mengatakan bahwa seseorang tidak pantas dihina karena statusnya melainkan harus dilihat dari kemampuannya. Doryoudhana yang melihat skill yang begitu overpower milik Karna, mengangkat Karna sebagai Raja dikerajaan Anga.
Sekarang, bayangkan Karna berhenti mengejar keinginannya untuk menjadi kesatria. Karna tidak dapat menjadi kesatria yang tangguh karena dia adalah anak kusir kereta. Dan Karna yang berstatus sebagai anak kusir kereta tidak dapat menjadi kesatria. Terjebak dalam kompleks inferioritas dan kebohongan pada dirinya sendiri. Setelah mendengar ocehan tetangga, cemoohan dari orang yang statusnya diatas kastanya dan kaya. Apa Karna bisa menjadi raja? Karna yang seorang anak kusir kereta, Menjawab cemoohan itu dengan kerja keras dan telinga yang tebal, mementalkan semua omongan yang tidak perlu dia dengarkan agar impiannya bisa dicapai. Karna yang memilih jalur kerja keras dan menyakitkan, meyakinkan dirinya untuk dapat menjadi kesatria. Daripada meratapi nasib bahwa Karna dilahirkan dari keluarga tanpa previlage dan berstatus rendah, Karna lebih memilih jalan yang lebih keras dan menyakitkan.
Kisah diatas menjadi relevan dengan kondisi kita saat ini, jika menilik bahwa standar kesuksesan adalah menikah setelah lulus kuliah, punya anak setahun setelah menikah, memiliki mobil dan lain sebagainya. Sebagai orang lain dihidup seseorang kita lupa bahwa tiap individu memiliki garis start yang berbeda, namun memiliki kesempatan yang sama. Setiap individu memiliki kebebasan dan tanggung jawab kepada lingkungan disekitarnya. Sebagai orang lain dihidup seseorang kita wajib sadar untuk mawas diri dengan ekspektasi, perkataan dan perbuatan. Dan sebagai individu yang bisa dikendalikan adalah pikiran dan respon kita terhadap orang lain.
Komentar
Posting Komentar