"Teman baik" yang merasa paling menderita
Akhir-akhir ini tidak sedikit menjumpai orang yang saling beradu nasib, siapakah yang paling menderita di antara yang lain. Semakin masif dengan adanya media sosial orang menjadi terfasilitasi untuk menshare apa yang mereka alami dan rasakan pada hari itu juga. Mereka ingin membagi beban/kesedihan/kekecewaan/nasib buruk yang mereka alami. Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat terputus dari orang lain, hal tersebut sah-sah saja dilakukan, terlebih ada sensasi untuk melepas perasaan negatif tersebut dan merasa berharga sebagai manusia. Tapi, ada kalanya kita menjumpai adu nasib ini terasa menyebalkan, disaat diri kita ingin membagi penat dan beban yang dirasakan, belum sampai pada opening sudah di cut oleh "Teman Baik" kita. Malahan "Teman Baik" kita ini yang menyerobot bercerita masalahnya, plus dengan mengeluarkan kalimat sakti "elu masih mending lah gw,.....". Yang awalnya ingin berbagi penat dan beban malah menjadi jengkel dan akhirnya beban itu tetap ada di kepala membuat malam-malam yang kita alami penuh dengan overthinking.
Kalimat "elu masih mending lah gw....", "elu mah enak pinter, punya ini itu", dan sejenisnya, awalnya membuat kita bersimpati pada orang lain dan lebih mencoba untuk berempati dengan nasib yang dialami. Seakan-akan dia adalah obyek yang rapuh dan perlu bubble warp dalam memperlakukannya. Namun, semakin lama ada yang janggal dari perilaku ini. Ya, ketika kita memerlukan telinga untuk mendengar, bukannya mendapatkannya tapi rasa jengkel yang muncul. Setiap kali mau berbagi cerita sudah dipotong oleh si "Teman baik" yang merasa dirinya paling menderita diantara yang lain. Saat, mencoba untuk memberikan saran tentang permasalahnya respon yang diberikan sangat mengejutkan. Be like "LU GAK NGERTI APA-APA SOAL GW......." atau hanya sekedar masuk telinga kanan keluar telinga tetangganya.
Konsep Komplek Inferioritas
Apa yang dialami oleh "Teman baik" bisa disebut sebagai Komplek Inferioritas. Komplek Inferioritas sendiri adalah kondisi mulai menjadikan perasaan inferior sebagai alasan. Sebagai contoh Seseorang tidak kuliah di perguruan tinggi tidak dapat sukses. Sehingga kalau dibalik Aku tidak dapat sukses karena tidak kuliah. Memang perasaan inferior dimiliki setiap manusia sebagai cara mereka untuk terus maju. Seperti contoh Murid yang tidak bisa matematika merasakan perasaan inferior tidak bisa matematika. Tetapi Murid itu menjadikan kondisinya untuk terus maju dengan melebihkan waktu belajarnya agar bisa memahami pelajaran matematika. Perasaan inferior ada untuk membuat manusia berubah dan berkembang.
Namun ceritanya berbeda dengan komplek inferioritas dengan alasan A adalah situasinya, sehingga B tidak dapat dilakukan. Lalu, Apa yang tujuan sebenarnya dari "Teman Baik" berperilaku seperti itu? Mungkin dia melakukan hal tersebut secara tidak sadar, padahal Kompeks Inferioritas dilakukan secara sadar untuk mencapai sebuah tujuan. Tujuan agar orang lain mengistimewakan mereka. Mengistimewakan mereka seperti kaca yang gampang pecah. Meminta orang lain supaya berhati-hati ketika berbicara, dan berinteraksi dengan mereka. Kondisi ini bisa disebut sebagai memanfaatkan kondisi Komplek Inferioritas untuk mendominasi dan meraih superioritas atas orang disekitarnya.
Padahal ada cara lain agar seseorang bisa terlepas dari perasaan inferior mereka. Melalui kerja keras dan pengembangan diri. Tetapi dia yang menjadikan Komplek Inferioritas sebagai alasan, sebagai cara mudah untuk mendominasi dan meraih superioritas yang bersifat semu. Dia tidak bisa menerima "ketidak becusan dirinya" saat ini menjadikan perasaan inferior sebagai alasan menolak bekerja keras dan mengembangkan diri. Mereka yang membanggakan keadaan diri secara lantang sebenarnya tidak memiliki keyakinan pada diri sendiri. Mengutip dari Teori Psikologi Adler "Mereka yang suka membanggakan diri melakukannya semata karena merasa inferior". Mereka yang membanggakan/ memanfaatkan nasib buruk/kemalangan yang mereka, ada kekhawatiran apabila mereka tidak melakukannya tidak ada seorangpun yang menerima "apa adanya diriku". Memanfaatkan kemalangan untuk mengontrol orang lain, membuat orang lain disekitarnya merasa khawatir, membatasi perkataan dan perilaku serta mengontrol orang-orang didekatnya. Tentunya tidak asing dalam kebudayaan kita kelemahan dapat menjadi senjata yang kuat dan ampuh. Selama dia terus memanfaatkan kemalangannya untuk memperoleh keistimewaan, selama itu juga dia membutuhkan kemalanganya. Sehingga dia akan tetap bertahan pada perasaan Komplek Inferiortasnya tanpa mencoba untuk berjuang dan bekerja keras agar dapat keluar dari kondisi tersebut.
Komentar
Posting Komentar